“Cita-cita bukan tentang seberapa
tinggi dan seberapa besarnya, tetapi seberapa besar keinginan untuk meraihnya”
Kadang ekspektasi tak
sejalan dengan realita, terkadang mimpi tak sejajar cinta. Angan boleh saja
besar namun harapan tak boleh disusun secara kasar. Bagiku, dua hal inilah yang
cocok untuk perumpamaan tersebut, mimpi dan cinta merupakan dua hal yang begitu
menggunggah diriku untuk terperosok ke dalamnya. Dua hal yang selalu menimbulkan
tanda tanya bagi diriku. Sudah begitu jauh mengejar dan mencari tahu namun apa
daya, apa yang dicari belum tentu menyenangkan baginya. Begitulah yang harus
dihadapi oleh seorang anak visioner
yang merantau demi tekad untuk menimba ilmu sebanyak dan setinggi mungkin
karena pada era itu Jawa merupakan kiblat pusaran arus pengetahuan bagi
anak-anak negeri dan Jawa adalah jawaban untuk itu, terkhusus di kalangan anakn
negeri yang berasal dari Indonesia bagian timur. Jawa bagi aku adalah surga karena
di sana banyak pengalaman, ilmu, teman, makanan/minuman enak, alam yang indah,
dan masih banyak lagi yang menarik untuk diselami dan dijelajah lebih dalam. Di tengah hiruk pikuk
kehidupan di tanah Jawa, aku bahkan tak menyangka bahwa kini berada di suatu
kota besar metropolitan yaitu Jakarta. Siapa sih yang tak mengenal Jakarta
sebagai ibukota Indonesia ?, teriknya panas mentari, bunyi-bunyi mesin dan
kendaraan yang keluar-masuk membising di telinga, gedung-gedung pencakar langit,
padat merayapnya kendaraan di tengah kota, pusat pemerintahan dan berdikarinya
negeri ini diproklamirkan di kota ini serta dengan sejuta kebudayaan yang tercampur
aduk dalam pita bhineka tunggal ika begitulah gambaran yang khas bagi Jakarta
di pandangan mata tiap orang yang menginjakkan dirinya pertama kali di Jakarta.
▄▀▄▀▄
“Nama saya Andi, saya berasal dari Makassar salam kenal
ya” ujarku. Aku dikenalkan oleh ibu kosannya kepada Suja yang ialah teman
angkatan baruku di kampus. Aku tak menyangka secepat itu langsung bertemu teman
baru, walaupun masa pengenalan kampus masih berlangsung dua hari lagi.
“Hai aku Suja, aku dari Mojekerto, nanti kalau besok-besok kamu ada perlu bisa saja main ke kosan aku”
sahut Suja sembari menjabat tangan Andi. Ia tersenyum.
“Kamu dari angkatan SMA
yang lulusnya 2014 gak ?”
“Iya, aku 2014. Jadi nganggur
setahun dulu aku hahaha” Suja tersipu malu ketika mengakui bahwa ia telat
masuk kuliah. Suja menggaruk kepalanya sembari tertawa kecil.
“Hahaha..ternyata kita
tak jauh beda, saya juga 2014”, mereka berdua tak henti tertawa karena menyadari
jalan hidup mereka sekilas sih BeTi (Beda
Tipis). Setelah perkenalan singkat
yang diinisiasi oleh ibu kosan mereka, Suja duluan pamit karena ada keperluaan
yang harus ia kerjakan. Beban satu tahun lambat kuliah tentunya menjadi beban
tersendiri di kalangan kami angkatan 2014 pada era itu. Kegagalan yang ku miliki kadang juga menyenangkan,
hidup dengan kepercayaan bahwa cobaan itu berguna untuk menempa diri.
▀▄▀▄▀
Cita-citalah yang
membawa Andi hingga memutuskan untuk nganggur
selama setahun. Aku sangat berambisi untuk menjadi seorang dokter namun dengan
tekad baja, hanya mau pada saat itu masuk ke perguruaan tinggin negeri (PTN) top
dan berkaliber yang ada di Jawa Tengah. Menurutku, cita-cita itu harus
diperjuangkan sama halnya dengan kemerdekaan bangsa ini butuh keringat,
pikiran, dan usaha untuk meraihnya bahkan kalau boleh 1 tahun hanya demi PTN
tersebut, mengapa tidak pikirku ?, namun rancangan model Sang Maha Kuasa
membelokkan ambisiku kembali ke jalan-Nya yang benar karena terkadang apa yang
diinginkan oleh manusia belum tentu adalah kebutuhannya. Sama halnya seseorang
yang meminta roti kepada ayahnya namun ayahnya memberikan burger kepada
anaknya. Begitulah cara kerja Sang MahaKuasa dalam rencana hidupku, aneh tapi
penuh kejutan. Ketika masa-masa penganggurannya sebagai cikal bakal mahasiswa
fakultas kedokteran (FK) ada satu pertanyaan yang begitu sederhana tetapi bila
diresapi begita menyayat hati, aku merasa semua orang yang pernah merasakan
hidup di fase saat itu beranggapan yang sama.
“Nak, sekarang kamu
kuliah di mana ?” tanya keluarga.
“Dek, sekarang kamu
lagi kuliah di mana dan jurusan apa dek ?” tanya orang-orang yang ada di
sekelilingnya.
“Please deh, apa gak ada pertanyaan lain apa ? pikirku. Ketika aku ditanya
pertanyaan itu hanya bisa mengelus dada, berpura-pura tidak mendengar pertanyaan tersebut atau yang
paling parahnya menjawabnya sebagai berikut :
“Ini saya lagi
bimbingan belajar di salah satu lembaga les” balasku.
“ Oalah, kuliah di situ
yah mas “ balas seorang penanya.
“ Ahh, sudah lah bodo” aku terus menenangkan dirinya. Membalas
pertanyaan mereka hanya membuat sebagian energi yang ku miliki habis terbuang
percuma, tidak efisien dan tidak efektif. Percuma saja menjelaskan mereka pun
tak tahu apa-apa bagaimana berjuang meraih sesuatu. Karena bagi seorang Andi,
kegagalan hanya terjadi apabila kita menyerah. Cita-cita bukan berbicara
seberapa besar dan seberapa tingginya cita-cita itu melainkan, berbicara
tentang seberapa besar dan tinggi keinginan kita untuk meraihnya. Banyak jalan
menuju Roma, banyak jalan pula menuju meraih jas putih nan mulia. Panggilan
hidup menjadi seorang dokter merupakan jalan yang kini Andi tempuh di salah satu fakultas kedokteran di Jakarta.
Orangtuaku telah
mendidik aku dengan penuh tanggung jawab terkhusus pada dunia pendidikan karena
bagi beliau berdua hanya pendidikan lah warisan paling berharga yang dapat mereka berikan kepada anak-anaknya.
Harta dan tahta suatu hari dapat hilang atau diambil oleh orang lain namun
berbeda dengan pendidikan yang diwariskan dalam ajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi akan abadi terus hingga akhir hayat. Alasan itulah yang mendasari
kedua orangtuaku mengutus aku dari Samarinda, Kalimantan Timur untuk sudah
bisa lepas mandiri dan merantau sendiri ke Kota Makassar di saat umurku baru
menginjak 15 tahun karena pada saat itu salah satu SMA yang ada di sana yang
dituju olehku merupakan salah satu SMA unggulan yang ada di Indonesia bagian
timur. Intinya pendidikan adalah hal yang terpenting yang tak boleh
disia-siakan harus terus dimaksimalkan dan dioptimalkan namun, aku tentunya tak
sendiri karena Makassar adalah tempat semua keluarga besar berada dan kota
kelahirannku.
Sejak kecil aku sudah
dikenal kutu buku namun hanya senang dan tertarik kepada buku-buku yang penuh
dengan gambar dan angka. Hal ini tak lepas dari Ayahandaku sebagai seorang guru
matematika. Aku terkadang ikut “Bapak” (sebutan Andi untuk ayahnya)
ikut mengajar ke kelas-kelas di sekolah. Rumus dan angka bagiku adalah hal yang
tak asing ditelinganya. Berbeda dengan ibundaku yang seorang ahli kesehatan
masyarakat Melalui beliau, aku mengenal dunia kesehatan karena sedari kecil selalu
dibawa oleh “Mama” (sebutan Andi untuk ibunya) untuk ikut serta dalam
sosialisasi penyuluhan kesehatan di daerah pedalaman Kalimantan Timur. Melewati
sungai, danau, dan hutan belantara itu adalah hal biasa yang sudah dikenalkan
Mama kepadaku. Melihat perkembangan anaknya yang terus menunjukkan satu per
satu potensi lahiriah yang dia miliki, sempat kedua orangtuaku kebingungan
apakah aku harus diarahkan untuk menjadi seorang insinyur atau diarahkan menuju
seorang dokter tetapi, Andi kini telah memutuskan jalan hidupnya sendiri
tanpa interpensi dari kedua orangtuanya. Orangtua adalah orang yang selalu
menginginkan yang terbaik bagi dia entah itu dalam jangka pendek dan jangan
panjanga secara sfesifik dan mendetail tak
kurang.
▄▀▄▀▄
Sebenarnya menjadi
seorang dokter bukanlah sekedar putusan yang biasa tanpa pertimbangan yang
mendalam. Aku memilih profesi ini karena suatu peristiwa yang begitu pilu yang
membuatku mengucapkan janji kepada salah satu orang yang ku cintai di dalam keluarga. Aku menjadi
dokter bukanlah dokter yang tanpa tujuan tetapi, mendapatkan visi besar yang
akundapat ketika umurku menginjak 17 tahun. Visi itu selalu terlintas ada di
dalam hatiku ketika memandang kenangan yang terpajang di atas dinding kamar.
Kenangan yang direkam oleh kamera pada saat lima hari menjelang kepergiannya
untuk selamanya.
“Oma, oma bikin apa itu
? tanyaku sambil membuka pintu. Oma duduk di samping lemari kecilnya mengenakan
baju hitam. Beliau sedanh menyisir rambutnya. Beliau juga melihat ke sisirnya
begitu banyak rambut yang rontok. “Oma” adalah sebutan yang diberikan Andi kepada nenek. Oma adalah inspirasi bagiku hingga kini.
“Ini sayang, oma mau
minum obat dulu “ jawab Oma. Oma mengambil secangkir di atas meja. Begitu
banyak obat di sekitar cangkir, berbagai dosis ada di situ.
“Ih, kenapa naa minum obat terus ?deh kalau saya
itu pasti tea ja[1]...enak
iyah oma ? “ balasku mendekati Oma.
“ Begitu mi[2]
sayang, mau di apa kalau begini sakitnya oma...makanya cepat ko jadi dokter, cepat
obati oma toh supaya oma cepat sembuh”
Oma memperlihatkan berbagai jenis obat yang ia konsumsi. Tak lupa selalu
ada pisang yang menemani karena ada beberapa obat yang ukurannya cukup besar
sehingga cara termudah untuk mengonsumsinya adalah dengan memasukkan obat itu
ke dalam pisang.
“ Edd[3],
pasti mi2 itu omaa..tunggu mi2 saja jadi dokter ja[4]
itu, “ Aku tersenyum. Aku selalu meyakinkan Oma bahwa seorang Andi bisa
menggapai mimpinya. Besar sekali harapan Oma untuk melihat cucu kesayangannya menjadi
dokter kelak yang bisa menyembuhkan penyakit yang beliau derita.
“Oma psti lihat ji[5]
toh Andi jadi dokter ? “
“Iya toh makanya rajin
belajar “ balas Oma. Oma terus meminum satu persatu obat yang diberikan oleh
dokter sembari ngobrol singkat denganku. Aku sangat tahu pada saat itu Oma
sedang menderita kanker ovarium[6]
namun stadium yang tengah diidap atau divonis oleh dokter, aku tak tahu persis
stadium berapa. Pada waktu itu, Oma yang telah berhasil melalui serangkaian
tahapan kemoterapi telah divonis bahwa sel-sel kanker yang ada pada tubuhnya
telah hilang semua namun Tuhan berkehendak lain, tak disangka sel-sel kanker
ternyata telah menyebar ke seluruh tubuh, informasi itu didapat ketika beliau
harus melakukan kontrol ke dokter yang menagani beliau sebelumnya. Oma harus
menjalani kembali rangkaian kemoterapi kedua kalinya. Kanker telah menggerogoti
tubuhnya yang lemah di usia senja. Ketika sebelumnya dilakukan kemoterapi,
beliau selalu menjerit kesakitan, kepalanya menjadi botak, muntah-mundah,
diare, dan lemas merupakan suatu gambaran yang dapat mendeskripsikan kondisi
Oma. Spiritinya untuk sembuhlah yang membuat beliau terus bertahan untuk
melawan penyakitnya. Terlintas dalam benak seorang visioner saat mengantar
beliau untuk melakukan kemoterapi di rumah sakit di Makassar bahwa umur Oma tak
akan lama lagi. Melihat kondisi beliau yang satu demi satu rambut yang beliau miliki
satu persatu rontok. Badan beliau betul-betul sangat kurus. Beliau terus
merintih kesakitan menahan rasa nyeri disekitar tubuhnya. Beliau selalu merasa
gerah dengan kondisinya saat itu. Tak jarang untuk meredakan rasa sakitnya
beliau meminta anak dan cucunya untuk memijat kaki dan tangannya diberi sandaran bantal agar
mengurangi rasa tekan.
“Andi, tidak kuat mi2 oma..duhh sakit semua
badannya oma” ujar Oma. Oma memegang tangannya sendiri sambil memijatnya.
Begitu banyak rasa nyeri yang harus terus ditahan dan diredam.
“Aduh, ndak tahan mi2 oma, biar mi2 oma mati saja..sakit
sekali Andi”. Sebelum kepergiannya,
beliau selalu meminta anak/cucunya selalu menemani beliau. Tepat pada 31
Januari 2012 pukul 08.30 WITA, Oma menghembuskan nafas terakhirnya sebagai tanda
harus menyudai perlawanan berjuang melawan kanker ovarium yang beliau idap.
“Annnddddiiiii, omaa Aaaannnddiii..” teriak Mama dari kamar Oma. Pada saat itu aku sedang berjalan
menuju ke kamar mandi. Segeraku buang segala peralatan alat mandi. Handuk yang
ku bawa langsung dilempar begitu saja ke sofa. Yang terpenting bagiku melihat
kondisi oma yang terdengar gawat pada saat itu.
“Mama, bangun koo
lehh..” seru Tante Ani. Tante Ani terus mencoba membangunkan Oma. Mama
begitu panik melihat kejadian yang terjadi. Mama mencoba memegang kening, ia
masih merasakan kepala Oma masih terasa hangat. Tante Ani merupakan saudara
kandung dari Mama. Mereka berdua terus mencoba membangunkan. Ketika aku datang,
Mama tengah berusaha mengeluarkan bubur dari dalam mulut Oma sedangkan Tanta Ani meraba bahwa badan Oma kini sudah dingin. Aku tak akan pernah lupa akan
kejadian itu, aku memegang kaki beliau sudah kaku dan dingin. Roh telah meninggalkan raga. Tak ada harapan.
Sepucuk harapan yang tumbuh kini telah dipetik oleh Pemilik-Nya.
“Andi cepat ko cari
orang dibelakang rumahh..lihat ko ini omaamuu eehh “ sahut Tante Ani yang begitu
panik. Aku melihat Mama sudah menangisi tubuh oma yang sudah terbujur kaku,
berbeda dengan tanteku yang masih beranggapan bahwa Oma hanya pingsan. Aku pun
segera mencari pertolongan. Kebetulan di dekat rumah ada seorang dokter.
Kemudian dokter datang memastikan kondisi oma.
Dokter membuka kedua
kelopak mata Oma. Mengambil senter di dalam tas dokternya, setelah itu
menyalakannya ke arah pupil[9]
mata Oma. Hasilnya tak memberi respon, pupil9 mata Oma tak melebar. Namuan apa daya tak sampai, Oma telah pergi
untuk selama-lamanya meninggalkanku dan segenap keluarga besar. Aku hanya bisa
terdiam melihat Oma yang kini telah tiada, harapanku melihat Oma menyaksikan
aku mengenakan jas putih nan mulia pupus sudah. Aku begitu hancur pada saat itu
hanya bisa menangis di luar kamar. Tangisan Mama dan tanteku pecah terdengar hingga keluar
rumah.
Aku bersama keluarga
betul-betul berduka. Aku merasa laki-laki paling tidak berguna pada saat itu
karena tak mampu melakukan apa-apa untuk menyelamatkan nyawa Oma. Aku juga tak
menyangka secepat itu salah satu orang yang ku cintai di dalam keluarga harus
dipanggil terlebih dahulu sebelum menepati janjiku untuk mengobati penyakit
yang diderita oleh Oma. Hanya diam, bingung, hancur, sedih, dan marah semua menyatu
di dalam luapan emosi tetesan air mata. Bagiku, kanker itu seperti bom waktu
yang kapan saja bisa meledak di dalam tubuh meskipun telah divonis sembuh tapi tetap
saja akan tetap ada di dalam tubuh.
Dari sinilah, awal mula seorang Andi ingin
menjadi seorang dokter ahli/spesialis di bidang onkologi (ilmu yang mempelajari mengenai kanker) untuk menebus
janji dan harapan yang telah dia buat kepada Oma. Janji yang telah diucapakan
harus dipenuh dan ditepati apalagi orang yang dijanjikan telah tiada bukan
hanya itu, karena pria sejati akan dianggap sejati kalau dia memegang dan dapat
mempertanggungjawabkan perkataan dan omongannya sendiri. Tanah Jawa adalah
tempat yang tepat yang telah Tuhan berikan kepadaku untuk menebus janji yang
telah ku ucapkan. Tak tanggung-tanggung semua kota disambangi oleh aku untuk mencari
jawaban atas pencarian akan jas putih nan mulia itu mulai dari Bandung,
Yogyakarta, Solo, hingga berada di Jakarta. Di tiap kota yang aku sambangi
bukan hanya soal ilmu pengetahunnya, banyak nilai-nilai yang dipelajari mulai
dari kearifan lokal hingga budaya setempatan yang unik dengan karakter
orang-orang yang berbeda. Perjalanan itu malah menambah wawasan dan
pengalamanku bertemu dengan berbagai orang sehingga bertemu orang baru bukanlah
sebuah hal yang lumrah bagiku.
▀▄▀▄▀
Dalam perjalanan menggapai
mimpiku, cinta kerap kali mengusik hatiku yang kosong. Kerap kali ketika melihat
seseorang wanita yang parasnya cantik dan elok rupanya atau melihat sepasang
muda-mudi yang memadu kasih di keramaian kota, sering kali menggunggah hatiku
untuk mencoba mencari pasangan tetapi, mencari wanita idaman yang dikehendaki tidak
semudah berbagai kalangan di luar sana yang penting sama cocok, yang penting
enak negerasanya, maka hubungan itu lanjut ke pacaran. Pacaran itu bukanlah
sebuah mainan atau alat mengisi kekosongan hati melainkan, pacaran adalah
tujuan akhirnya adalah pernikahan. Didalamnya juga tak diisi oleh perasaan,
tapi juga suatu komitmen sebab semakin lama seseorang menjalin suatu hubungan
maka satu demi per satu perasaan yang dulunya ada semasa masa pendekatan perlahan
demi perlahan sirna. Oleh karena itu, penting untuk mengenal seseorang itu dari
berbagai sisi dan pandangan. Satu hal yang aku yakini saat itu adalah semakin kita
mencari cinta sejati yang sempurna semakin kita tak akan mendapatkannya
melainkan, mencoba melihat seorang wanita yang tidak sempurna dengan cara yang
sempurna.
“Pang, lo ngerasa gak ?
tanya Trisna sembari melempar tasnya. Mengambil bantal sambil bermain gadget. Suasana begitu sedih, sebab
untuk pertama kali aku merasakan yang namanya galau yang berkepanjangan akibat
wanita yang ku cintai. Meskipun mereka baru saja pulang dari menonton film di
salah satu bioskop di Kalibata.
“Apa ris ?” kembali
aku bertanya. Aku berbaring di kasur, sembari menyandarkan kepalaku di atas
bantal. Tanganku, kuletakkan diatas kepala sambil melihat ke atas. Menyesali
mengapa harus terjadi situasi seperti ini. Aku belajar pada saat itu ketika
engkau menggantungkan harapan yang besar, maka kita harus siap untuk menanggung
kekecewaan yang besar.
“Menurut pengalaman
gue, hidup itu terkadang seperti susunan puzzle ndi, penuh dengan tanda tanya
ditiap kepingannya. Kita begitu berhasrat untuk menyusun kepingan puzzle demi
puzzle, keping demi keping terangkai dan terkadang kita mengetahui apa yang
kita lihat untuk sementara sambil terus berusaha menyusun kepinggan puzzle
lainnya. Namun ketika kepingan yang lain datang, kita merasa melihatnya
bukanlah suatu hal yang tidak menyenangkan bagi kita sehingga kita pun ogah untuk
melanjutkan merangkainya tetapi, yang terpenting adalah tetap terus merangkai
puzzle karena hasil akhirlah yang menentukan sehingga kita dapat menarik
kesimpulan atas puzzle yang kita susun” jelas Trisna. Tangannya coba
mencontohkan penjelasan yang ia maksudkan.
“Iyaa sih ris, betul
juga sih kata lu “ balas Andi.
“Kayak lu ini kisah
cinta lo itu unik banget ndi, hahahaha”. Tertawanya pun terbahak-bahak tetapi
tak serius. Seolah mengejek kisah cinta yang kini dirasakan olehku. Ia coba
menenangkanku yang masih galau.
“ Gini ndi..lo itu kyk
perumpaan yang gue sebutin tadi, lo itu dalam mendekati seorang wanita kyk nyusun
puzzle, lu rangkain tuh satu demi satu ehh tapi giliran tinggal satu atau dua
puzzle terahkir lo mau sambungin ehh malah hancur semua “ lanjut Trisna.
“ Betul juga tuh kata
lu, gue setuju tuh” ujarku. Tak lama setelah mereka berbicara, Frans tiba-tiba
memotong pembicaraan.
“Ndi lu percaya gak
sih ini ? “ tanya Frans.
“Apaan ?”
“Alah lu ndi, baru 1
cewe saja lu udah sedih banget...bucin[10]
lu dasar,hahahaha”
“Gini ndi.. Terkadang seseorang
hadir dalam kehidupan kita itu hanya memberikan pelajaran bagi kita sendiri,
jadi gini ketika ntar lu ketemu jodoh lu ya lu udeh siap soalnya banyak hal yang
lo pelajarin ketika sama dia..jadi begitu ndi, betul kan gue ?”jelas Frans. Berdiri
layaknya lelaki tangguh dalam mempertahankan argumennya.
“Bisa jaddii, tapi
boleh..boleh “ balasku.
“Boleh juga tuh
kata-kata lu “ balas Trisna. Puzzle itulah yang terimplemntasi dalam bentuk
mimpi dan cinta. Mimpi dan cinta saling melengkapi satu sama lainnya apabila dijiwai
keduanya dapat digapai. Jalan menuju ke sana tentulah tidak mudah banyak sekali
rintangan dan tantangan. Namun puzzle itu terkadang muncul dalam hidup secara
tak kebetulan bahkan mengagetkan tak jarang puzzle itulah adalah omongan kita
sendiri yang tak secara sengaja terlontar dari mulut kita atau perlakukan kita
kepada orang lain.
“Visi itu harus dijaga, karena kelak
dia yang akan menjaga kehidupanmu”
[2] Mi = kata imbuhan, bisa
mempertegas, mempersilahkan tergantung konteks kata yang digunakan (bahasa
Makassar)
[3] Edd =
bentuk umpatan yang sering keluar jika seseorang sedang mengeluh (bahasa
sehari-hari Makassar)
[10] Bucin =
istilah/julukan/panggilan seseorang yang hanya sibuk
membicarakan/mengejar/mencari cinta, merupakan suatu akronim dari “Budak
Cinta”.