Esai ini dilombakan pada acara Hasanuddin Scientific Fair 2018 di Makassar, Sulawesi Selatan. Puji Tuhan, esai ini masuk dalam babak final dan menduduki peringkat 8 tingkat nasional.
1. Pendahuluan
Kebutaan dan gangguan penglihatan yang disebabkan oleh katarak masih menjadi momok bagi permasalahan kesehatan mata di dunia dan Indonesia sebesar 50%.1 Proses terapi katarak saat ini banyak menggunakan pembedahan intraokuler sebagai baku standar dalam penatalaksanaan katarak. Terapi ini memiliki komplikasi salah satunya, endoftalmitis. Kenaikan insidensi endoftalmitis mengalami kenaikan selama dua dekade terakhir dikarenakan intensintas penggunaan operasi intraokuler yang terus meningkat tiap tahunnya.2
Salah satu penyebab utama dari endoftalmitis pasca operasi katarak adalah Enterococcus faecalis.2 Bakteri ini memiliki resistensi terhadap pengobatan multi-drugs antibiotik, salah satunya vankomisin sebagai drug of choice .3 Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2013, resistensi E. faecalis terhadap vankomisin menempati peringkat ke-7 dari 18 resistensi antibiotik di Amerika Serikat.2 Beberapa literatur mengenai endoftalmitis mencatat, resistensi vankomisin banyak dijumpai di Asia.3 E. faecalis termasuk salah satu penyebab utama infeksi nosokomial di rumah sakit.2,3 Sitolisin sebagai faktor virulensi dari E. faecalis yang bertanggung jawab atas endoftalmitis pasca operasi katarak.2,3
Pengobatan infeksi ini tidak cukup dengan pengobatan antibiotik biasa karena dapat mengakibatkan penurunan penglihatan hingga kebutaan.2,3 Kondisi ini mendesak ditemukannya agen teraupetik yang dapat memberikan prognosis yang lebih menjanjikan dibandingkan dengan penanganan yang sudah ada selama ini. Pendekatan terbaru yang digalakkan saat ini berbasis biomimetik dengan menggunakan nanosponge. Nanosponge terdiri dari nanopartikel polimer yang dikelilingi oleh eritrosit yang telah dimurnikan dengan mempertahankan fungsi membran sel eritrosit.2 Selanjutnya, agen teraupetik ini dapat mengikat secara irreversibel dan menetralisir sitolisin sehingga tidak dapat menyerang sel retina.
2. Isi
2.1. Endoftalmitis akut pasca operasi
Endoftalmitis adalah infeksi pada bagian dalam mata (vitreous humor atau aqueous humor) karena kontaminasi mikroorganisme (MO), trauma, dan infeksi di bagian tubuh lain yang menyebar secara hematogen ke mata.4,5 Endoftalmitis akut pasca operasi (EAPO), sering ditemukan pada pasien pasca operasi katarak dan glaukoma.5 MO penyebabnya adalah Staphylococcus sp., Streptococcus sp., dan Enterococcus sp..2,4,5 Dikatakan akut, jika timbul gejala dibawah dari enam minggu pasca operasi. Keluhan utama muncul setelah satu minggu pasca operasi dengan penurunan penglihatan (95%), mata merah (80%), dan nyeri mata (75%).4 Faktor risiko dari EAPO meliputi preoperasi, perioperasi, dan pascaoperasi. Preoperasi terdiri dari blefaritis, diabetes melitus, dan faktor usia yang meningkat.6 Perioperasi terdiri dari penggunaan obat steroid, ruptur pada kapsul posterior, hilangnya vitreous humor, dan dokter ahli bedah/ahli mata yang kurang berpengalaman.6 Pascaoperasi terdiri dari status rawat inap dan riwayat adanya luka pada hari pertama pasca operasi.6
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan kultur bakteri. Pada saat melakukan pemeriksaan fisik, ditemukan kelopak mata mengalami edema.4,5 70 % pasien EAPO pada beberapa kasus mengalami penurunan penglihatan yang buruk sebesar 20/100.2 Penurunan ini terjadi akibat akumulasi leukosit pada aqueous humor dan vitreous humor sehingga menghalangi datangnya sinar menuju retina.4 Pada konjungtiva didapatkan injeksi dan hipopion akibat eksudasi purulen.5 Selanjutnya didapatkan juga vitreitis, cotton wool spots, papilitis, edema kornea, lesi putih di koroid dan retina, massa vitreal, demam, dan tampak suar di AC pada pemeriksaan lampu slit.5
Kultur dilakukan dengan cara vitretomi atau aspirasi jarum halus ke aqueous humor/vitreous humor. Cairan vitreous humor lebih sensitif dalam memberikan hasil positif gambaran MO.4,5 Hal ini dikarenakan saat operasi intraokuler kontaminasi pada aqueous humor lebih besar, namun E. faecalis tidak sempat tumbuh dan menghasilkan sitolisin karena cairan aqueous humor selalu diperbarui setiap 100 menit.4 Hal ini berbeda dengan cairan vitreous humor yang tak dapat diperbarui, sehingga lebih rentan terpapar sitolisin .4 Kemudian ditanam dalam media tioglikolat, agar cokelat, dan agar Sabouraud. Setelah didapatkan hasil kultur, terapi dilakukan menggunakan antibiotik broad-spectrum : vankomisin 0,1 mL/1 mg (drug of choice) dikombinasi dengan ceftazimidine 0,1 mL/2,25 mg atau amikasin 0,1 mL/4 mg.5
2.2 Enterococcous sp.
Enterococcus sp. merupakan flora normal di usus yang bertumbuh dan berkembang dengan membutuhkan banyak nutrisi dan kadar oksigen yang kurang, dikenal dengan istilah anaerob fakultatif.7 Enterococcus sp. sudah ada di bumi sejak awal periode Devonia (412 juta tahun yang lalu). Enterococcus sp. adalah bakteri Gram postif, tidak mempunyai spora, dan membentuk zona hemolisin pada agar darah. Jumlahnya pada feses segar pada kisaran 1011 bakteri/gram feses.7 Pada media biakkan, konsentrasinya sebesar 105-107 Colony Forming Unit (CFU)/gram feses.7 Enterococcus sp. menempati posisi ke-3 sebagai agen infeksi nosokomial. Enterococcus sp. terdiri dari 40 spesies dan 90% yang menyebabkan infeksi di manusia disebabkan oleh E. faecalis dan E. faecium.7 Infeksi yang disebabkan oleh dua MO ini, diantaranya endokarditis, sepsis, infeksi traktus urinarius, dan luka pada pembedahan (contohnya : endoftalmitis pasca operasi katarak).3,7
E. faecalis memiliki prevalensi tinggi resistensi terhadap terapi multi-drugs antibiotik di rumah sakit di seluruh dunia. Resistensi multi-drugs di rumah sakit menjadi endemi dan epidemi yang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya sejak 1960-an.7 Akibat peningkatan ini, perkembangan pendekatan terbaru untuk mengatasi resistensi ini sangatlah vital. Resistensi ini pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat terhadap vankomisin pada tahun 1980-an dari isolasi darah pasien terinfeksi.7 Selanjutnya, hemolisis yang terjadi pada agar darah disebabkan oleh toksin unik, dikenal dengan “sitolisin”, toksin ini bersifat broad lisis pada sesama sel bakteri Gram positif dan sel eukariotik.7 Sitolisin sebagai faktor primer virulensi pada EAPO.2,4
2.3. Resistensi terhadap Vankomisin
Mekanisme kerja dari vankomisin dengan menghambat pembentukan dinding sel pada E. faecalis.8 Vankomisin akan berikatan dengan bagian terminal dari D-alanin-D-alanin dari prekursor peptidoglikan, sehingga mencegah terjadinya ikatan silang peptidoglikan untuk membentuk dinding sel.8 Resistensi terjadi ketika D-alanin-D-alanin pada bagian terminal asam amino menjadi D-alanin-D-laktat atau D-alanin-D-alanin menjadi D-alanin-D-serin. Pada resistensi tingkat rendah, yang dipicu D-alanin-D-serin, terjadi penurunan afinitas pengikatan vankomisin sekitar tujuh kali lipat.8 Pada resistensi tingkat tinggi, yang dipicu D-alanin-D-laktat, subsitusi yang terjadi menghilangkan satu dari lima ikatan hidrogen yang diperlukan untuk mengikat rantai peptidoglikan, sehingga menurunkan afinitas pengikatan vankomisin sekitar 100 kali lipat.8
Esai ini dapat diakses lebih lanjut di :
https://drive.google.com/file/d/14VfK606haiDcSmJXvdHQ7OpBzcrZCOB3/view?usp=sharing
0 komentar:
Posting Komentar